Cirebon, detik35. Com
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon masih terus mengusut kasus pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang terjadi di SMAN7 maupun seluruh sekolah se-Kota Cirebon.
Kasus pemotongan dana PIP ini mencuat dan viral setelah seorang siswi SMAN 7 Kota Cirebon mengungkapkan adanya pemotongan dana PIP sebesar Rp250 ribu per siswa, yang diduga dialirkan ke salah satu partai politik. Selain itu, siswi tersebut juga mengungkapkan adanya pungutan SPP sebesar Rp200 ribu per bulan.
Bahkan, sejumlah guru SMAN7 Kota Cirebon pun telah dimintai keterangannya oleh petugas Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon.
Kasi Intel Kejari Kota Cirebon, Slamet Haryadi kepada RadarCirebon.Com mengatakan, pihak Kejari Kota Cirebon masih terus mengumpulkan data (Puldata) dan pengumpulan keterangan (Pulbaket) terkait kasus pemotongan dana PIP.
"Tim kami turun ke lapangan untuk pengumpulan data dan keterangan penggunaan dan pelaksana PIP ini apakah pelaksanaannya bertentangan atau tidak dengan aturan yang ada,"katanya, Jumat (14/2/2025).
Slamet menyebutkan, pengumpulan data dan keterangan ini bukan hanya lingkungan sekolah saja.
"Untuk Puldata dan pulbaket kami bukan hanya fokus ke sekolah, tapi juga ke pihak luar sekolah juga kami sedang mengumpulkan data dan keterangan untuk mengetahui ril pelaksanaan PIP di Kota Cirebon khususnya,"sebutnya.
Terkait adanya partai politik keterlibatan dalam kasus PIP, Slamet belum bisa menyampaikan hal tersebut.
"Untuk itu kami belum bisa menyampaikan, karena kan sebenarnya kami masih pulbaket dan puldata tertutup. Nanti hasilnya bagaimana, ketika kita sudah laporkan ke pimpinan dan nanti ditindaklanjuti kalau memang ada perbuatan melawan hukum, baru nanti bisa dipublikasikan ke umum,"ucapnya.
Slamet menegaskan, pengusutan kasus pemotongan dana PIP tersebut juga termasuk seluruh sekolah-sekolah di Kota Cirebon.
"Seperti yang saya sampaikan tadi, karena ini berkaitan dengan dana PIP khususnya di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Kota Cirebon maka puldata dan pulbaket yang kami lakukan untuk seluruh sekolah di Kota Cirebon,"tegasnya.
Terpisah, menanggapi adanya praktek pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di beberapa sekolah Kota Cirebon, Furqon Nurzaman selaku praktisi hukum Cirebon menegaskan, pemotongan dana bantuan pendidikan ini berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana korupsi (Tipikor) jika terbukti melanggar aturan.
“Dari sisi hukum, kita bicara fakta. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemotongan? Kita harus lihat siapa yang melakukan dan bagaimana mekanismenya,”ucapnya.
Menurut Furqon, ada tiga pihak yang bisa mengusulkan penerima PIP, yakni Dinas Pendidikan (provinsi, kabupaten, atau kota), pemangku kepentingan, serta hasil aktivasi surat keputusan nominasi.
"Namun, penerima dana PIP bersifat pribadi dan langsung diberikan kepada peserta didik. Kalau ada kesepakatan antara orang tua murid dengan pihak pengusul, misalnya dari partai politik, maka kedua belah pihak bisa dikategorikan turut serta dalam tindak pidana. Karena dana PIP ini secara tegas diperuntukkan untuk operasional pendidikan peserta didik,"ujarnya.
Oleh karena itu, Furqon menekankan pentingnya memeriksa semua pihak yang terlibat dalam dugaan pemotongan di Cirebon.
“Kalau faktanya terjadi kesepakatan di awal terkait pemotongan dana, orang tua murid juga harus bertanggung jawab. Tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak,”ucapnya.
Furqon juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan program PIP.
"Saya menilai, pengusul dari pemangku kepentingan sering kali tidak bekerja maksimal, membuka celah terjadinya pemotongan atas dasar ‘ucapan terima kasih’. Idealnya tidak ada istilah pemotongan. Karena alokasi dana ini khusus untuk kepentingan pendidikan. Kalau ada yang disepakati untuk kepentingan lain, itu jelas penyalahgunaan,”tuturnya.
Furqon mengingatkan, penerima PIP harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, seperti berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin, anak yatim piatu, berpotensi putus sekolah, korban bencana, atau anak dari orang tua yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
“Kalau ada peserta didik yang diusulkan tetapi tidak memenuhi kualifikasi, ini juga bentuk penyalahgunaan. Jika diusut tuntas, dampaknya bisa besar,” pungkasnya. (Red)