Kota Bekasi,detik35.Com
“Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari” adalah sebuah peribahasa yang sudah sering terdengar. Dimana peribahasa ini memberikan peringatan bahwa siswa akan mencontoh apa yang dilakukan gurunya. Bahkan mungkin lebih baik atau lebih buruk dari gurunya. Peribahasa itu punya makna yang sama dengan deskripsi orang Jawa terhadap sosok guru sebagai yang digugu dan ditiru.
Dengan adanya peribahasa ini, maka guru dituntut untuk memberikan contoh yang baik, bukan hanya sekedar memberikan pengajaran tentang satu tambah satu sama dengan dua, tapi juga memberikan teladan yang menjadi panutan anak didiknya.
Namun, sebuah rumor menggelitik kembali beredar di dunia pendidikan, khususnya di Kota Bekasi, yang membuat citra guru semakin hanyut. Bahwa diduga ada sebuah praktek gelap di balik siswa Eligible.
Apa itu siswa Eligible?
Siswa eligible ada siswa yang layak mengikuti seleksi nasional berbasis prestasi (SNBP). Dimana dikatakan layak, karena siswa Eligible adalah siswa dengan peringkat teratas di sekolahnya.
Misalnya di salah satu SMA Negeri dengan status Akreditasi A, siswa kelas XII-nya sebanyak 432 siswa (12 rombel x 36 siswa), maka siswa yang masuk daftar Eligible adalah 40% dari 432 siswa atau sebanyak 194 siswa. Jika 194 ini terdistribusi merata untuk 12 rombel, maka tiap kelas terpilih 16 siswa, dari peringkat 1 sampai peringkat 16 besar per-kelasnya.
Dalam menentukan nilai siswa Eligible, sekolah akan memperhitungkan nilai rata-rata semua mata pelajaran dari semester 1 sampai semester 5.
Nah, di sinilah akar permasalahannya, dimana sekolah diberi peluang untuk melihat aspek-aspek lain yang bisa menentukan ranking dari siswa.
Seperti yang diungkapkan Koordinator Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) Riza Satria Perdana di beberapa media, "Jadi memang diberi peluang sekolah untuk melihat aspek-aspek lain yang bisa menentukan ranking dari siswa, begitu. Jadi silahkan sekolah bisa menentukan apa saja faktor-faktornya selain dari rata-rata rapor. Kalau dari sudut pandang pelajaran, apa saja yang harus dipertimbangkan," terang Riza.
"Jadi tidak dilakukan perankingan oleh sistem SNBP, tidak ya. Perankingan tetap dilakukan Bapak-Ibu (pihak sekolah) dengan Guideline kriteria yang sudah disampaikan," jelasnya.
Subjektifitas Berbasis Permintaan
Karena adanya peluang di atas, maka perankingan siswa Eligible berada sepenuhnya ditangan guru dan juga kepala sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi di sekolah. Namun, apakah perankingan itu sepenuhnya bersifat obyektif?
Dari beberapa keluhan yang masuk ke Aliansi Media Cetak Dan Online Berkarya, yang disampaikan siswa dan orang tua, bahwa mereka sangat kecewa dengan daftar Eligible yang dikeluarkan sekolah. “Iya om, teman saya itu peringkat ke-20, nilainya jauh banget sama saya, tapi aneh, malah dia yang masuk daftar Eligible dan saya tidak masuk,” ungkap salah seorang siswa kelas XII salah satu sekolah di bilangan Bekasi Timur.
Lain lagi dengan keluhan salah seorang orang tua murid siswa kelas XII di salah satu sekolah di Rawa Lumbu, dia mempertanyakan nilai anaknya yang tinggi, tapi tidak masuk daftar siswa Eligible.
“Saya dan anak saya sih sebenarnya tidak mempermasalahkan hal itu, karena sejak awal anak saya tidak tertarik ikut SNBP, dia lebih tertantang untuk ikut UTBK SNBT (ujian tulis berbasis komputer seleksi nasional berdasarkan tes). Namun, ada aroma tidak sedap yang tercium di kami-kami kalangan orang tua murid, bahwa ada dugaan terjadi “praktek transaksional” yang membuat daftar siswa Eligible itu tidak objektif, cenderung subjektif karena dasar permintaan,” ungkap Rahmat (bukan nama sebenarnya-red).
Lain di Bekasi Timur dan Rawa Lumbu, fenomena menarik ditemukan redaksi di Bekasi Utara. Siswa-siswa di sana malah bercanda dan tertawa-tawa membicarakan teman-temannya yang masuk daftar siswa Eligible. “Eh, iya om, si Budi masuk Eligible loh…hahaha. Jangankan 10 besar, masuk aja jarang, bolos mulu,” cerita salah satu siswi perempuan saat diajak berbincang-bincang terkait SNBP.
“Tapi, si Budi memang anak orang kaya sih, om. Ayahnya pengusaha. Wajarlah, dia masuk Eligible,” tambah siswi itu sambil tersenyum pahit.
Jreng…jreng…jreng. Loh, memangnya pengaruh ya status sosial dengan siswa Eligible? Terus, nilai nominalnya berapa untuk bisa masuk sebagai siswa Eligible?
Timbul Sinaga, SE, Sekjen DPP LSM Forkorindo, kepada ZI, Jumat (14/3) saat berbincang-bincang di sekitar Margahayu, Bekasi Timur, mengatakan, “tidak semua siswa yang masuk daftar Eligible itu harus bayar. Tapi, tidak diingkari, satu-dua itu ada. Itulah faktor kedekatan dan prestise yang di beberapa kalangan tertentu sangat dikejar. Dan itu sudah menjadi rahasia umum. Makanya, kalau kita amati, jumlah siswa Eligible dengan jumlah yang lulus SNBP, berselisih jauh. Misalkan, jumlah siswa Eligible salah satu sekolah sebanyak 194 (12 x 36 x 40%), paling yang lulus SNBP itu hanya 50 atau mungkin kurang.
Di tempat terpisah, salah satu guru, dengan lugas mengatakan, “Segala kemungkinan bisa saja terjadi tergantung integritas sekolahnya bang. Sekarang apa sih yang gak bisa diakalin? Kenapa yang pakai e-raport dapat 45% karena itu gak akan bisa diganti nilai raportnya, karena sudah online sedangkan yang pakai kertas mah oknum bisa saja nakal.”
Isu yang beredar di kalangan orang tua murid yang sampai ke redaksi, bahwa orang tua ada yang rela membayar 10 - 15 juta agar anaknya masuk daftar Rligible.
“Praktek-praktek transaksional ini sebenarnya sudah lama diendus pihak perguruan tinggi dan juga Kementerian Pendidikan. Makanya sejak beberapa tahun yang lalu, Kemendikbud meluncurkan e-Raport. Jadi, kemungkinan adanya manipulasi semakin diminimalisir, karena nilai anak sudah online ke Kementerian sejak semester 1. Dan atas pertimbangan ini, sekolah yang sudah menggunakan e-Raport, kuota siswa Eligible ditambah menjadi 45%, 5 persen lebih besar dari kuota sekolah yang masih menggunakan raport manual,” lanjut Sinaga.
Timbul juga menambahkan, “Nah, untuk sekolah-sekolah yang masih manual, praktek SIM SALABIM nilai raport itu kemungkinan besar masih ada. Kita tinggal lihat saja nanti hasil pengumuman SNBP, terus bandingkan dengan jumlah kuota siswa Eligible-nya. Biasanya, di banyak sekolah akan terjadi semacam gelombang protes ketidakpuasan para orang tua murid. Yang merasa sudah membayar mahal, tapi anaknya enggak lulus SNBP, biasanya akan komplen. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena orang tua kurang mendapat penjelasan atau ada janji-janji muluk dari oknum guru atau kepala sekolah yang tidak sesuai dengan kenyataan.”
“Ke depan, bila hal-hal transaksional ini masih terus terjadi, mental dan karakter anak akan semakin tergerus. Profil guru dan sekolah juga akan jatuh ke titik nadir. Takutnya, masyarakat makin krisis kepercayaan pada guru dan sekolah. Dan ini sangat berbahaya,” tutup Timbul Sinaga SE. (Red).